Rabu, 26 Januari 2011

Beuget Tajaga Adat Droe Teuh Karena Nyan Warisan Endatu Geutanyoe


Menyikapi Zaman Irwandi

Oleh tambeh Menyikapi Zaman Irwandi
Oleh:KHALIL FIRDAUS

Membaca judul tulisan “Ini Era Irwandi”, (Serambi, Rabu, 10 Januari 2007 halaman 18/opini): menjadikan pikiran saya menerawang jauh. Betapa tidak, judul artikel itu seolah-olah hendak menyodorkan sebungkus obat mujarab untuk menyembuhkan daerah Aceh yang selama ini menderita penyakit kronis, yang menahun, malah bertahun-tahun. Setelah saya baca secara lengkap, ternyata obat yang saya harap-harapkan itu tidak tersaji secara utuh. Obatnya memang ada, tapi hanya khusus dihidangkan kepada tokoh pelakon utama- Gubernur baru – yang akan amat berperan di Aceh selama beberapa tahun kedepan.
Bila diringkas, ternyata hanya tiga butir resep yang dikandung tulisan itu, yakni pertama, latar belakang terpilihnya Irwandi. Kedua, nasihat agar sang pemimpin pandai-pandailah meniti buih, yaitu pintar menjalin komunikasi dengan berbagai unsur dalam masyarakat Aceh serta pihak Jakarta. Ketiga, juga himbauan agar sang tokoh tidak terjebak dengan nepotisme. Jadi, hampir semuanya ditujukan kepada Gubernur Aceh, Irwandi, walaupun hal itu juga sangat berpengaruh kepada kehidupan rakyat Aceh di masa mendatang. Tentang harapan kehidupan rakyat Aceh memang ada, hanya amat sedikit. Seperti kehidupan “muge pisang” sebagaimana kata penulis: “Bila dulu  “muge pisang”  dari Kuala Tripa dengan GT (gari tuha/sepeda tua), semoga di era baru ini bisa ‘Muge pisang’ dengan sepeda motor bermesin turbo”. Sayang, si penulis artikel lupa membahas kehidupan “petani pisang” di desa-desa!!!.
Sumber Sembako
Sembilan bahan kebutuhan pokok (Sembako) bagi Aceh sebagiannya  didatangkan dari Sumatera  utara alias Medan. Akibatnya, ban putoh jalan Medan u Sigli/Ka ka’a-ka’i sembako hana!. Hal ini berkali-kali telah terjadi, tapi tak pernah teratasi.  Pernah saya berangan-angan, bahwa problem ini akan mampu disingkirkan oleh dua Gubernur Aceh yang bergelar Profesor ekonomi (ekonom). Ternyata khayalan saya tetap sebagai “cet langet ngon puteng sadeup” juga!. (menghias langit dengan pangkal sabit).
Sungguh Aceh amat  tergantung  dan terikat dengan Medan. Boleh dikatakan, kenyang dan laparnya sebagian  besar rakyat Aceh sangat tergantung lancar-tidaknya hubungan jalan darat antara Aceh dengan kota Medan. Karena sebagian sembako keperluan rakyat Aceh mesti di pasok dari Medan. Sebenarnya, bukan hanya sembako, tetapi hampir berbagai kebutuhan lainnya, seperti; pakaian, barang elektronik, jenis kenderaan dan bermacam kebutuhan hajat-hidup masyarakat Aceh pada umumnya.
Hanya saja, sembako-lah sebagai kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat setiap saat, mesti selalu tersedia, tidak boleh terputus-putus. Karena itu, sembako ini haruslah selalu mengalir dari Medan ke Aceh. Bila sempat berhenti- walaupun hanya sehari misalnya- maka kucar-kacirlah (bahasa Aceh: ka’a-ka’i) tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Apalagi kalau hambatan hubungan Aceh-Medan berlangsung lama, maka macetlah kehidupan di Aceh.
Kelangkaan sembako yang paling akhir dialami rakyat Aceh adalah akibat banjir bandang di Aceh Tamiang dan sekitarnya beberapa hari yang lalu. Sebelumnya, yang tentu lebih parah, yaitu ketika tsunami menghantam Aceh. Bahkan, pada saat konflik sedang parah-parahnya, kelangkaan sembako di Aceh sudah merupakan “langganan” tetap, dan hal ini amat menyengsarakan rakyat Aceh. Kesemuanya ini terjadi akibat putusnya hubungan jalan darat antara Aceh-Medan, sehingga langkalah sembako di Aceh.
Apakah problema itu memang tak akan pernah teratasi?. Kenyataannya memang demikian. Para Gubernur Aceh sudah berkali-kali silih berganti, namun penyakit kelangkaan sembako di Aceh tidak pernah tersembuhkan!. Timbullah dugaan, mungkin saja masalah tersebut tidak pernah terpikirkan dan tidak menjadi “program kerja” para Gubernur Aceh selama ini!!!. Seingat saya, hanya Drs. Nurdin AR, Bupati Pidie di akhir tahun 80-an yang pernah “bersuara” tentang hal ini, namun karena kekuasaannya hanya sebagai Bupati, maka gagasannya ketika itu tidak menjadi kenyataan.
Sekiranya pernah dijadikan ‘program kerja Gubernur Aceh” sebenarnya ada berapa solusi yang dapat ditempuh. Antara lain, pertama; melakukan segala daya-upaya agar hubungan jalan darat antara Aceh-Medan tidak pernah terputus. Nampaknya, gagasan ini amat sulit diterapkan dan sangat tidak mungkin dapat terlaksana. Sebab  faktor-faktor yang menyebabkan putusnya hubungan Aceh-Medan itu banyak sekali, dan diantaranya tak dapat diprediksi sebelumnya seperti tanah longsor, banjir bandang serta bencana alam lainnya.
Kedua, menjadikan daerah Aceh sebagai wilayah produksi sebagian barang-barang sembako yang mungkin dihasilkan di daerah ini. Saya memang awam di bidang ilmu ekonomi, pertanian dan perternakan, namun memaksakan diri untuk menganjurkan hal tersebut, karena tak tertahan lagi melihat daerah Aceh terus-menerus jalan di tempat dalam bidang ini. Padahal para pakar dalam bidang bersangkutan  cukup memadai  di Aceh.
Sekitar 30 tahun lalu, terdengar rencana akan menjadikan wilayah lembah Seulawah sebagai area peternakan lembu terbesar di Aceh. Sampai hari ini rencana itu tak pernah terwujud. Akibatnya, harga daging lembu termahal di Indoenesia adalah di Banda Aceh, sementara termurah di Kupang (dengarlah siaran bisnis-ekonomi RRI Jakarta setiap jam 20.10 Wib. malam).
Belasan tahun yang lalu muncul ide akan membangun perkebunan buah-buahan antara Seulimum-Padangtiji. Diharapkan di kiri-kanan jalan sepanjang lembah Gunung Seulawah itu akan dipenuhi kebun-kebun aneka buah-buahan. Bagi penumpang bis atau masyarakat yang hilir-mudik di sepanjang jalan itu, dibiarkan memetik sendiri buah-buahan itu sekehendaknya dengan  harga yang cukup murah. Nyatanya, rencana itu hanya sebatas cet langet pula.
Kini, sepanjang jalan di Lembah Seulawah bukanlah buahan-buahan yang nampak, tetapi kebun-kebun kosong yang kurang terawat. Dan di beberapa lokasi hanya bue-bue (kera) kelaparan yang menungggu para pelintas jalan agar melemparkan makanan baginya. Kenyataan ini memberi isyarat, bahwa ketersediaan makanan bagi bue-bue itu sudah langka di hutan lembah Seulawah, dan hal ini menunjukkan sebagian hutan di sana sudah musnah. Kegundulan hutan itu bisa menimbulkan bencana banjir. Jadi, akhirnya lembah Seulawah itu bukan menghasilkan buah-buahan, tetapi banjir.
Kembali ke solusi  di atas. Bila sebagian sembako sudah dapat diproduksi di Aceh, maka akan berkurangnya beban ketergantungan Aceh kepada Sumatera Utara (Medan). Selain itu, terobosan ini juga akan menyejahterakan sebagian rakyat Aceh dengan tersedianya lapangan kerja semakin luas. Dalam pandangan awam saya, usaha ayam petelur, ayam potong, daging, minyak makan, sayur-sayuran merupakan bahan-bahan sembako yang mungkin dapat dihasilkan sendiri daerah Aceh.
Ketiga, membuka jalur-jalur alternatif bagi pemasukan sembako ke Aceh. Bila jalur baru ini terwujud, maka sumber pasokan sembako untuk Aceh bukan satu-satunya lewat Medan saja, tetapi sudah dapat melalui sejumlah jalur lain. Mungkinkah terobosan ini diatasi dengan membuka lebih banyak hubungan jalan darat antara Aceh dan Sumatera Utara?. Para ahli-lah yang lebih tahu, dengan mewujudkan hubungan Kereta Api; misalnya.
Upaya lain yang mungkin dilakukan adalah adanya  banyak pelabuhan laut yang bermutu di Aceh. Ketersediaan pelabuhan laut yang modern, akan mengurangi ketergantungan pengangkutan sembako lewat jalan darat saja. Jika melirik kepada cerita sejarah,  pada abad ke 16, 17, 18 dan  awal abad ke 19;  pelabuhan-pelabuhan di Aceh banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari Arab, Gujarat, Malabar, Pegu, Siam, Keling, Turki, Perancis, Inggris, Belanda, Dumar (Denmark) dan lain-lain. Sekarang, pelabuhan Sabang saja tidak mampu” diperjuangkan”  Pemda Aceh!!!.

Pembela Petani
Sepanjang sejarah kemerdekaan Republik Indonesia, kehidupan petani-nelayan kurang mendapat pembelaan. Memang, cara memproduksi hasil pertanian yang dipraktekkan para petani di Aceh sudah terhitung canggih. Namun, taraf hidup mereka kurang terangkat dengan bekerja sebagai petani itu. Dapat disimpulkan, kerja tani tidak dibanggakan oleh anak-keturunan dari petani itu sendiri. Akibatnya, dari tahun ke tahun semakin banyak anak  para petani yang meniggalkan pekerjaan sebagai Pak Tani;  dan mencari pekerjaan lain di kota-kota. Pasalnya, kerja menjadi petani-nelayan tidak memberi harapan hidup yang layak dan membanggakan.
Kenapa demikian?. Keadaan ini disebabkan harga barang-barang hasil pertanian teramat rendah bila dibandingkan dengan harga barang-barang hasil pabrik. Celakanya lagi, bila  barang pertanian hasilnya sedang melimpah, maka harganya akan turun drastis. Jadi, hasil yang banyak tidak berarti kehidupan petani bertambah makmur, sebab harganya menjadi rendah.
Kenyataan inilah yang selalu dialami para petani yang menanam apa saja seperti padi, nilam, karet, pala, langsat, rambutan,  tembakau, cabe, bawang, kacang, timun taiwan, jeruk, pisang, dan sebagainya.
Karena itu, para petani membutuhkan pembelaan. Mereka mengharapkan kehadiran “Ratu Adil” yang akan membela kehidupan mereka. Dengan kedatangannya di tengah-tengah –petani, mudah-mudahan kehidupan petani Aceh akan bertambah makmur, karena tidak terjadi lagi : setiap hasil pertanian melimpah, maka otomatis harganya turun drastis. Bagaimana cara mengatasinya, terserah saja pada kemampuan sang Ratu Adil mengutak-atiknya. Para petani cuma pasrah;  sambil berdo’a semoga berhasil hendaknya. Begitulah harapan para petani Aceh kepada Gubernur Aceh, Irwandi. Mudah-mudahan sumbangan mereka yang melimpahkan suara kepada Irwandi dalam Pilkada yang lalu tidak serta-merta disia-siakan. Semoga!!!.